
Neuralgia Trigeminal
Seorang Bapak dari Arab Saudi berusia 45 tahun pernah datang berkonsultasi karena dia merasakan nyeri yang menusuk dan berkepanjangan di bagian pipi dan rahang kanannya setiap hari, dan sudah dirasakannya selama 5 tahun.
Ketika kami pertama bertemu, dia tidak bisa berbicara karena merasa sakit saat membuka mulutnya. Dia tidak mengizinkan saya memeriksa wajahnya karena pipinya sangat sensitif, bahkan hanya dengan menyentuh sedikit saja bisa menyebabkan nyeri. Dia telah kehilangan berat badan lebih dari 10kg karena sulit makan dan minum. Dia juga menjadi kurang tidur dan kualitas hidupnya menurun.
Pasien ini menderita kondisi yang disebut neuralgia trigeminal, yang juga dikenal sebagai penyakit ‘bunuh diri’, karena penderita merasa lebih baik mengakhiri hidupnya daripada harus merasakan nyeri yang tak tertahankan.
Seseorang menderita rasa nyeri yang tajam, seperti sengatan listrik, di bagian dahi, pipi, bibir dan rahang karena gangguan saraf trigeminal yang memberikan sensasi rasa di wajah. Gangguan ini menyerang sekitar 1 dari 20.000 orang dan dianggap sebagai salah satu kondisi paling menyakitkan bagi manusia.
Istri pasien, yang datang menemani saat berkonsultasi, mengatakan bahwa pada awalnya Bapak ini mengira dia menderita sakit gigi. Dia menemui dokter gigi beberapa kali dan melakukan foto ronsen untuk giginya. Selain gigi geraham bungsunya yang bermasalah, hasil ronsennya normal.
Namun pasien tidak bisa menahan sakit dan meminta gigi geraham bungsunya dicabut. Seperti yang diduga, nyeri masih tetap berlanjut. Saya kemudian mempelajari hasil foto MRI yang dibawanya.
Beberapa orang menderita neuralgia trigeminal karena ada pembuluh darah yang menekan saraf trigeminal di otak, sehingga menyebabkan iritasi dan nyeri pada saraf.
Penyebab lainnya yaitu tumor otak atau gangguan sistem saraf yang disebut sklerosis multipel. Akan tetapi, hasil MRI dari pasien ini normal.
Dokter ahli saraf di negaranya telah memberikan resep obat antikonvulsan yaitu Carbamazepine, yang umum digunakan untuk mengobati neuralgia trigeminal. Obat ini membantu menghilangkan nyeri tetapi kemudian setelah beberapa waktu nyeri bisa datang lagi.
Pasien juga mengkonsumsi obat antikonvulsan dan antidepresan lain untuk mengobati nyeri saraf tetapi tidak berhasil. Saya kemudian membicarakan pilihan pengobatan lain dengannya.
Pasien dengan saraf trigeminal yang tertekan oleh pembuluh darah dapat diobati dengan dekompresi mikrovaskuler – bedah saraf terbuka yang memisahkan pembuluh darah dari saraf menggunakan potongan kecil spons atau sejenis kain.
Jika tidak dapat diobati dengan kompresi saraf seperti pada kasus ini, operasi radiasi pisau gamma dan ablasi radiofrekuensi saraf trigeminal dapat menjadi pilihan. Operasi pisau gamma yaitu dengan mengangkat cabang saraf trigeminal yang menyebabkan nyeri menggunakan bantuan radiasi, sedangkan ablasi radiofrekuensi menggunakan arus bolak-balik berfrekuensi tinggi.
Tingkat keberhasilan ablasi radiofrekuensi sekitar 98 persen, meskipun 10 sampai 20 persen pasien bisa merasakan nyeri lagi setelah 1 tahun.
Juga, sekitar 4 persen dari pasien dapat mengalami efek otot rahang yang melemah sesudah operasi. Kurang dari 1 persen pasien dapat merasakan sensasi terbakar di wajah setelah ablasi radiofrekuensi. Bapak ini bersedia mengambil risiko ablasi radiofrekuensi dan setuju untuk melakukan prosedur invasif minimal ini dengan bantuan obat penenang ringan.
Jarum khusus disuntikkan ke wajahnya dan diarahkan dengan hati-hati dengan bantuan sinar X ke ganglion trigeminal, pusat saraf trigeminal yang terdapat di dasar tengkorak. Panas kemudian dialirkan dengan bantuan energi radiofrekuensi untuk menghancurkan cabang saraf trigeminal yang sakit.
Bapak ini kembali 2 minggu kemudian dengan senyum di wajahnya. Dia berbicara lama dan saat itu saya baru tahu bahwa dia tidak bisa berbahasa Inggris dengan baik. Istrinya membantu menerjemahkannya.
Rasa nyeri di pipi dan rahang kanannya telah hilang hampir seluruhnya, meskipun dia merasakan sedikit sensasi kesemutan di area yang sama – efek samping yang telah diketahuinya sebelumnya. Dia berkata bahwa dia sudah tidak sabar ingin pulang ke rumah dan makan makanan favoritnya yaitu Hummus dan daging domba panggang. Dia menjabat tangan saya dan berkata ‘shukran jazeelan’ – satu-satunya frase Arab yang saya mengerti, yang artinya terima kasih banyak.
(Dr. Ho Kok Yuen, Spesialis Anestesiologi, Raffles Pain Management Centre)
Ketika kami pertama bertemu, dia tidak bisa berbicara karena merasa sakit saat membuka mulutnya. Dia tidak mengizinkan saya memeriksa wajahnya karena pipinya sangat sensitif, bahkan hanya dengan menyentuh sedikit saja bisa menyebabkan nyeri. Dia telah kehilangan berat badan lebih dari 10kg karena sulit makan dan minum. Dia juga menjadi kurang tidur dan kualitas hidupnya menurun.
Pasien ini menderita kondisi yang disebut neuralgia trigeminal, yang juga dikenal sebagai penyakit ‘bunuh diri’, karena penderita merasa lebih baik mengakhiri hidupnya daripada harus merasakan nyeri yang tak tertahankan.
Seseorang menderita rasa nyeri yang tajam, seperti sengatan listrik, di bagian dahi, pipi, bibir dan rahang karena gangguan saraf trigeminal yang memberikan sensasi rasa di wajah. Gangguan ini menyerang sekitar 1 dari 20.000 orang dan dianggap sebagai salah satu kondisi paling menyakitkan bagi manusia.
Istri pasien, yang datang menemani saat berkonsultasi, mengatakan bahwa pada awalnya Bapak ini mengira dia menderita sakit gigi. Dia menemui dokter gigi beberapa kali dan melakukan foto ronsen untuk giginya. Selain gigi geraham bungsunya yang bermasalah, hasil ronsennya normal.
Namun pasien tidak bisa menahan sakit dan meminta gigi geraham bungsunya dicabut. Seperti yang diduga, nyeri masih tetap berlanjut. Saya kemudian mempelajari hasil foto MRI yang dibawanya.
Beberapa orang menderita neuralgia trigeminal karena ada pembuluh darah yang menekan saraf trigeminal di otak, sehingga menyebabkan iritasi dan nyeri pada saraf.
Penyebab lainnya yaitu tumor otak atau gangguan sistem saraf yang disebut sklerosis multipel. Akan tetapi, hasil MRI dari pasien ini normal.
Dokter ahli saraf di negaranya telah memberikan resep obat antikonvulsan yaitu Carbamazepine, yang umum digunakan untuk mengobati neuralgia trigeminal. Obat ini membantu menghilangkan nyeri tetapi kemudian setelah beberapa waktu nyeri bisa datang lagi.
Pasien juga mengkonsumsi obat antikonvulsan dan antidepresan lain untuk mengobati nyeri saraf tetapi tidak berhasil. Saya kemudian membicarakan pilihan pengobatan lain dengannya.
Pasien dengan saraf trigeminal yang tertekan oleh pembuluh darah dapat diobati dengan dekompresi mikrovaskuler – bedah saraf terbuka yang memisahkan pembuluh darah dari saraf menggunakan potongan kecil spons atau sejenis kain.
Jika tidak dapat diobati dengan kompresi saraf seperti pada kasus ini, operasi radiasi pisau gamma dan ablasi radiofrekuensi saraf trigeminal dapat menjadi pilihan. Operasi pisau gamma yaitu dengan mengangkat cabang saraf trigeminal yang menyebabkan nyeri menggunakan bantuan radiasi, sedangkan ablasi radiofrekuensi menggunakan arus bolak-balik berfrekuensi tinggi.
Tingkat keberhasilan ablasi radiofrekuensi sekitar 98 persen, meskipun 10 sampai 20 persen pasien bisa merasakan nyeri lagi setelah 1 tahun.
Juga, sekitar 4 persen dari pasien dapat mengalami efek otot rahang yang melemah sesudah operasi. Kurang dari 1 persen pasien dapat merasakan sensasi terbakar di wajah setelah ablasi radiofrekuensi. Bapak ini bersedia mengambil risiko ablasi radiofrekuensi dan setuju untuk melakukan prosedur invasif minimal ini dengan bantuan obat penenang ringan.
Jarum khusus disuntikkan ke wajahnya dan diarahkan dengan hati-hati dengan bantuan sinar X ke ganglion trigeminal, pusat saraf trigeminal yang terdapat di dasar tengkorak. Panas kemudian dialirkan dengan bantuan energi radiofrekuensi untuk menghancurkan cabang saraf trigeminal yang sakit.
Bapak ini kembali 2 minggu kemudian dengan senyum di wajahnya. Dia berbicara lama dan saat itu saya baru tahu bahwa dia tidak bisa berbahasa Inggris dengan baik. Istrinya membantu menerjemahkannya.
Rasa nyeri di pipi dan rahang kanannya telah hilang hampir seluruhnya, meskipun dia merasakan sedikit sensasi kesemutan di area yang sama – efek samping yang telah diketahuinya sebelumnya. Dia berkata bahwa dia sudah tidak sabar ingin pulang ke rumah dan makan makanan favoritnya yaitu Hummus dan daging domba panggang. Dia menjabat tangan saya dan berkata ‘shukran jazeelan’ – satu-satunya frase Arab yang saya mengerti, yang artinya terima kasih banyak.
(Dr. Ho Kok Yuen, Spesialis Anestesiologi, Raffles Pain Management Centre)
atau klik disini untuk mengisi form pembuatan janji.